Sabtu, 11 Mei 2013

culture of mandar ethnik


CULTURE OF MANDAR ETHNIK





Pesta Pattuddu, atau lebih dikenal Sayyang Pattuddu’ (kuda menari), begitu, suku Mandar menyebut acara ini. Sayyang Patuddu’ di sebagian wilayah di Kabupaten Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju lazim ditampilkan untuk merayakan keberhasilan anak-anak yang khatam Al Quran. Acara khatam yang diwarnai Sayyang Pattuddu’ ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni setiap bulan Maulid. Biasanya acara tersebut diselenggarakan per desa/kelurahan/kecamatan dengan waktu dan jumlah peserta yang berbeda-beda.
Sejak pagi warga berduyun-duyun mendatangi masjid, membawa berbagai hantaran dalam sebuah balasuji (wadah berbentuk segi empat besar yang terbuat dari bambu). Isi balasuji beragam, di antaranya pisang, kelapa, gula merah, beras, dan kue-kue tradisional. Mereka yang sudah sampai di masjid kemudian berzikir dan membaca doa hingga menjelang siang. Saat zikir usai, isi balasuji dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Tak jarang pula pemilik balasuji saling bertukar isi dengan pembawa balasuji lainnya.
Pada saat yang sama, di rumah-rumah warga, kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka masakan dan kue-kue. Umumnya di rumah-rumah yang penghuninya menggelar acara khitan, ruang tamu disulap menjadi tempat makan lesehan dengan baki dan tatakan makan lainnya yang penuh berisi beragam jenis makanan dan kue-kue.
“Kalau sudah begini, siapa pun yang singgah wajib mencicipi hidangan yang disajikan. Bahkan biasanya dari desa lain pun ada yang datang menyaksikan acara ini dan mereka juga dipanggil naik ke atas rumah untuk makan.
Kegembiraan dan keramaian tidak hanya berlangsung pagi hingga siang hari itu. Malam sebelumnya, rumah-rumah warga, yang putranya mengikuti acara khatam, sudah diramaikan suara orang-orang yang membacakan ayat-ayat suci Al Quran, lagu-lagu kasidah, dan tetabuhan rebana. Alunan syahdu itu terdengar sejak waktu shalat isya hingga menjelang pagi.

Kuda Berhias
Saat yang paling ditunggu-tunggu akhirnya tiba menjelang sore. Puncak acara ini ditandai dengan arak-arakan anak-anak yang tamat mengaji (khatam Al Quran) keliling desa. Anak-anak yang diarak masing-masing menunggangi kuda berhias. Kudanya pun bukan sembarangan. Kuda-kuda tunggangan itu mampu berjalan sembari menari. Kuda-kuda tersebut menari diiringi tabuhan rebana dan pembacaan pantun khas Mandar.
Tak pelak, kegembiraan warga tumpah ruah bersamaan dengan dimulainya arak-arakan. Di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan kuda, warga biasanya berdesak-desakan bahkan banyak di antaranya yang berjalan mengikuti arak-arakan. Biasanya, setiap kali kuda yang diunggulkan lewat, mereka akan bersorak-sorai mengelu-elukan kuda tersebut.
Sorak-sorai bertambah ramai bila tarian kuda cukup lama dan bagus. Memang di sela arak-arakan, kuda beberapa kali berhenti kemudian memain-mainkan kaki depannya secara bergantian sembari menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kenan layaknya sedang menari.

Peserta
peserta ini bukan hanya anak-anak warga desa setempat, tetapi juga anak-anak dari luar desa, luar kabupaten, bahkan luar Sulawesi Barat, yang orangtuanya berasal dari desa ini.
Satu per satu kuda diatur berbaris di depan masjid.
Di atas kuda duduk seorang pissawe (pendamping) yang mengenakan pakaian adat mandar lengkap. Lazimnya yang menjadi pissawe adalah perempuan. Tak mudah menjadi seorang pissawe karena butuh keseimbangan tubuh yang bagus, saat duduk di atas kuda, pissaweharus duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang dengan lutut mengarah ke depan dan satu kaki lainnya terlipat dengan lutut mengarah ke atas dan telapak kaki berpijak pada badan kuda. “Dengan model duduk seperti ini, keseimbangan harus betul-betul terjaga saat kuda yang ditunggangi menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun ada yang membantu memegang kuda, tetapi kalau tidak kuat, bisa jatuh.
Di belakang pissawe duduk anak yang khatam mengaji atau yang disebut to tamma’. Yang perempuan mengenakan pakaian muslim dan penutup kepala, sedangkan anak laki-laki mengenakan baju gamis yang dilengkapi penutup kepala layaknya digunakan orang di Timur Tengah. Di samping kiri dan kanan kuda, empat orang memegang kuda. Mereka disebut pissarung.
Selain itu, ada pula seorang pakkaling dadda’ berdiri di bagian depan, tepat di sebelah kepala kuda. Pakkaling dadda’ adalah orang yang bertugas membaca pantun dalam bahasa mandar sepanjang arak-arakan dilakukan. Biasanya pantun yang diucapkan berisi kata atau kalimat yang lucu dan selalu disambut penonton dengan sahutan, teriakan, celetukan, atau tepukan tangan.
Di depan kuda ada pemain rebana yang berjumlah 6-12 orang. Kelompok ini terus memainkan rebana dengan irama tertentu sembari kerap berjingkrak-jingkrak, mengiring kuda menari. Pukulan rebana biasanya akan terhenti sejenak bila pakkaling dadda’ mengucapkan pantun.

Ritual Istimewa
Bagi warga suku Mandar, suku yang sebagian mayoritas di Sulawesi Barat, khatam Al Quran adalah sesuatu yang sangat istimewa sehingga tamatnya membaca 30 juz Al Quran tersebut disyukuri secara khusus. Namun, tidak semua warga yang berdiam di Sulawesi Barat menggelar acara Sayyang Pattuddu’.
Soal acara penamatannya, tidak jadi soal kapan akan dilaksanakan. Kerap ada anak yang sudah tamat mengaji pada usia lima tahun, tetapi baru diacarakan saat berusia 10 tahun.
Begitu eratnya pertalian antara tamat mengaji dan gelar adat Sayyang Pattuddu’ sampai-sampai suku Mandar yang sudah berdiam di luar Sulawesi Barat akan kembali ke daerahnya untuk mengacarakan tamat mengaji itu. “Biasanya, setahun sebelum acara, orangtua sudah mulai mendaftarkan anaknya.
Tak ada yang tahu sejak kapan persisnya acara khatam diramaikan dengan Sayyang Pattuddu’. Kendati tidak jelas kapan mulainya, hingga kini warga di beberapa wilayah di Poliwali Mandar, Majene, dan Mamuju masih melakoni tradisi ini.

Tari Patuddu dan Legendanya
Sulawesi Barat atau disingkat Sul-Bar termasuk provinsi yang masih tergolong baru di Pulau Sulawesi, Indonesia. Provinsi yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober ini sebagian besar dihuni oleh suku Mandar (49,15%) dibanding dengan suku-bangsa lainnya seperti Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%). Maka tidak heran jika adat dan tradisi suku Mandar lebih berkembang di daerah ini. Salah satu tradisi orang Mandar yang sangat terkenal adalah tradisi penjemputan tamu-tamu kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri.
Penyambutan tamu kehormatan tersebut sedikit berbeda dari daerah lainnya. Para tamu kehormatan tidak hanya disambut dengan pagar ayu atau pengalungan bunga, tetapi juga dengan Tari Patuddu. Zaman sekarang, tarian ini biasanya dimainkan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD) dengan menggunakan alat tombak dan perisai yang kemudian diiringi irama gendang. Oleh karena itu, Tari Patuddu yang memperagakan tombak dan perisai ini disebut juga tari perang. Disebut demikian karena sejarah tarian ini memang untuk menyambut balatentara Kerajaan Balanipa yang baru saja pulang dari berperang.
Menurut sebagian masyarakat setempat, Tari Patuddu ini lahir karena sering terjadi huru-hara dan peperangan antara balatentara Kerajaan Balanipa dan Kerajaan Passokorang pada masa lalu. Setiap kali pasukan perang pulang, warga kampung melakukan penyambutan dengan tarian Patuddu. Tarian ini menyiratkan makna, “Telah datang para pejuang dan pahlawan negeri,” sehingga tari Patuddu cocok dipentaskan untuk menyambut para tamu istimewa hingga saat ini.
Namun, ada versi lain yang diceritakan dalam sebuah cerita rakyat terkait dengan asal-mula tari Patuddu. Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah pegunungan di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), hidup seorang Anak Raja bersama hambanya. Suatu waktu, Anak Raja itu ditimpa sebuah musibah. Bunga-bunga dan buah-buahan di tamannya hilang entah ke mana dan tidak tahu siapa yang mengambilnya. Ia pun berniat untuk mencari tahu siapa pencurinya. Dapatkah Anak Raja itu mengetahui dan menangkap si pencuri? Siapa sebenarnya yang telah mencuri buah dan bunga-bunganya tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Asal-Mula Tari Patuddu berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.
Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut.
Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm…aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.
Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.
Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.
Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu.
”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu.
”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.
Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran meninggalkan sifat suka mengambil barang milik orang lain. Sifat yang tercermin pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari. Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja tanpa sepengetahuannya. Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan. Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.
Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara semena-mena, sama artinya dengan memakan harta yang haram. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli yang dilakukan suka sama suka antara si penjual dan si pembeli, tanpa ada penipuan di dalamnya.
Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi, mengakui dan melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal

0 komentar:

Posting Komentar

 
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogger templates

Popular Posts

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

Blogger news