WISATA BUDAYA KABUPATEN WAJO
NELAYAN DANAU TEMPE
TENUN SUTRA TRADISIONAL
PERMANDIAN KALOLA
SAORAJA LA TENRI BALI
RUMAH TERAPUNG DANAU TEMPE
Daerah yang terletak di Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo ini dipilih sebagai kawasan Saoraja La Tenri Bali, rumah tradisional khas etnis Bugis. AtakkaE menjadi kawasan budaya tempat berdirinya rumah yang memiliki 101 batang ini.
Rumah ini mempunyai keunikan dan sarat makna filosofis. Konon, rumah ini merupakan cerminan strata sosial masyarakat Lamadukelleng, sebutan lain masyarakat Wajo.Bagian atap rumah yang bertingkat misalnya, simbol strata sosial sang pemilik rumah yang berasal dari keluarga bangsawan. Begitupun dengan ruangan tengah yang lantainya bertingkat.
Hanya saja, rumah kerajaan tempo dulu tidak sebesar ini lantaran Raja Wajo kala itu tidak boleh bersenang-senang di atas penderitaan rakyat, karena ada filosofi orang Bugis, biar rumah kecil yang penting sang pemilik berjiwa besar.
Soal tiang, setiap tiang beratnya mencapai dua ton dengan lingkaran 1,45 meter dan berdiameter 0,45 meter. Tinggi tiang dari tanah ke loteng 8,10 meter. Bangunan rumah adat ini mempunyai ukuran panjang 42,20 meter, lebar 21 meter, serta tinggi bubungan 15 meter. Terbuat dari kayu ulin yang didatangkan dari Kalimantan Timur.
Di dalam Saoraja, terpajang berbagai peralatan yang menggambarkan perekonomian masyarakat Wajo, seperti ragam alat tangkap ikan yang digunakan nelayan jika menangkap ikan di danau, rawa, maupun sungai. Terlebih, keberadaan Danau Tempe memproklamirkan beberapa daerah di wilayah pesisir danau sebagai kampung nelayan. Sebut saja misalnya Kelurahan Laelo dan Salomenraleng serta beberapa daerah lainnya.
Alat tangkap ikan tradisional nelayan yang terpajang antara lain; jaring tancap, jaring lingkar, jaring apung, jala tebar, buwu konde, buwu kalla, buwu sidak salekko, tombak garpu, tombak sulo, sero angkat, rawai mata saing, rawai; sejenis alat pancing, timpo serta jabba.
Selain itu, juga ada alat tenun sutra tradisional yang sudah ada sejak 1950-an. Tak heran bila Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo berjuluk kota Sutera. Ratusan variasi motif terlahir dari perajin sutera di Sengkang.
Alat tenun tradisional tersebut merupakan pemintalan seperti appalireng, jencara dan ganra, juga ada assaureng dan alat tenun gedogan. Sementara, di atas rakkian (loteng) juga terdapat beberapa ikat padi. Sesuai tradisi masyarakat wajo, loteng merupakan tempat yang layak untuk penyimpanan gabah atau padi yang sudah dipanen.
Di bagian lain, terdapat lesung atau alat penumbuk padi yang digunakan pada acara Mappadendang. Dulu, tempat ini merupakan pusat atraksi budaya dan permainan rakyat. Hanya saja, kegiatan-kegiatan serupa sudah jarang dilakukan.
Kawasan wisata budaya dan sejarah ini berada di sebelah timur kota Sengkang dengan jarak tempuh sekitar tujuh kilometer. Selain berdiri megah Saoraja La Tenri Bali, pengunjung juga bisa menyaksikan jejeran 34 rumah adat tradisional. Di antara rumah adat tersebut terdapat 14 rumah adat pencerminan 14 kecamatan yang ada di Wajo. Selebihnya, rumah adat yang dibangun setiap instansi pemerintahan
Rumah ini mempunyai keunikan dan sarat makna filosofis. Konon, rumah ini merupakan cerminan strata sosial masyarakat Lamadukelleng, sebutan lain masyarakat Wajo.Bagian atap rumah yang bertingkat misalnya, simbol strata sosial sang pemilik rumah yang berasal dari keluarga bangsawan. Begitupun dengan ruangan tengah yang lantainya bertingkat.
Hanya saja, rumah kerajaan tempo dulu tidak sebesar ini lantaran Raja Wajo kala itu tidak boleh bersenang-senang di atas penderitaan rakyat, karena ada filosofi orang Bugis, biar rumah kecil yang penting sang pemilik berjiwa besar.
Soal tiang, setiap tiang beratnya mencapai dua ton dengan lingkaran 1,45 meter dan berdiameter 0,45 meter. Tinggi tiang dari tanah ke loteng 8,10 meter. Bangunan rumah adat ini mempunyai ukuran panjang 42,20 meter, lebar 21 meter, serta tinggi bubungan 15 meter. Terbuat dari kayu ulin yang didatangkan dari Kalimantan Timur.
Di dalam Saoraja, terpajang berbagai peralatan yang menggambarkan perekonomian masyarakat Wajo, seperti ragam alat tangkap ikan yang digunakan nelayan jika menangkap ikan di danau, rawa, maupun sungai. Terlebih, keberadaan Danau Tempe memproklamirkan beberapa daerah di wilayah pesisir danau sebagai kampung nelayan. Sebut saja misalnya Kelurahan Laelo dan Salomenraleng serta beberapa daerah lainnya.
Alat tangkap ikan tradisional nelayan yang terpajang antara lain; jaring tancap, jaring lingkar, jaring apung, jala tebar, buwu konde, buwu kalla, buwu sidak salekko, tombak garpu, tombak sulo, sero angkat, rawai mata saing, rawai; sejenis alat pancing, timpo serta jabba.
Selain itu, juga ada alat tenun sutra tradisional yang sudah ada sejak 1950-an. Tak heran bila Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo berjuluk kota Sutera. Ratusan variasi motif terlahir dari perajin sutera di Sengkang.
Alat tenun tradisional tersebut merupakan pemintalan seperti appalireng, jencara dan ganra, juga ada assaureng dan alat tenun gedogan. Sementara, di atas rakkian (loteng) juga terdapat beberapa ikat padi. Sesuai tradisi masyarakat wajo, loteng merupakan tempat yang layak untuk penyimpanan gabah atau padi yang sudah dipanen.
Di bagian lain, terdapat lesung atau alat penumbuk padi yang digunakan pada acara Mappadendang. Dulu, tempat ini merupakan pusat atraksi budaya dan permainan rakyat. Hanya saja, kegiatan-kegiatan serupa sudah jarang dilakukan.
Kawasan wisata budaya dan sejarah ini berada di sebelah timur kota Sengkang dengan jarak tempuh sekitar tujuh kilometer. Selain berdiri megah Saoraja La Tenri Bali, pengunjung juga bisa menyaksikan jejeran 34 rumah adat tradisional. Di antara rumah adat tersebut terdapat 14 rumah adat pencerminan 14 kecamatan yang ada di Wajo. Selebihnya, rumah adat yang dibangun setiap instansi pemerintahan
0 komentar:
Posting Komentar